Jumat, 28 Maret 2014

Filled Under:

Musuh Cinta dan Cita-cita



Menuju Indonesia Baru Berlandaskan Islam


Dunia Islam hari ini sedang terbakar, maka kewajiban setiap kita untuk mencurahkan air walaupun sedikit guna untuk memadamkan api sekedar kemampuan kita, tanpa menunggu orang lain melakukannya terlebih dahulu.
–Syeikh Amjad Az-Zawahi-

Gagasan awal lahirnya ide menulis buku ini, muncul setelah penulis –Irfan S. Awwas membaca sebuah buku yang amat menarik berjudul “Di Bawah Pohon Cahaya”, tulisan seorang yang mendapat gelar “Senjata Zaman” yaitu Syeikh Badi’uz Zaman Sa’id Nursi, seorang ulama mujahid yang pernah dipenjara selama 8 tahun oleh rezim Musthafa Kemal Ataturk. Di Bawah Pohon Cahaya sendiri merupakan cuplikan dari risalah An-Nur, karangan beliau yang terdiri dari 6000 halaman.
Musuh cita-cita, yang kemudian diangkat menjadi judul buku ini merupakan hasil diagnosisnya terhadap berbagai penyakit kronis yang melanda kaum muslimin pada masa itu. Sayang sekali, poin-poin dari musuh cita-cita yang beliau agendakan tidak diberi penjelasan secukupnya sehingga mengilhami sang penulis untuk mengembangkan pembahasannya berdasarkan pengalaman dan telaah berbagai literatur Islam; dengan harapan dapat memberi penjelasan yang lebih relevan dengan kondisi perjuangan aktifis haraki pada zaman reformasi ketika itu. Karena penulis hidup di zaman reformasi, maka buku ini menjadi sebuah kritik dan telaah kritis atas kondisi umat Islam dan Negara Indonesia pada zaman tersebut.
Yang mana pada masa tersebut, pengaruh dari runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani sudah sangat terasa. Diantaranya munculnya para revisionis-revisionis Qur’an, seperti Munawir Sazali yang menggugat hukum waris yang sudah baku, serta kelompok “muharrib” (orang-orang yang menghancurkan prinsip-prinsip baku ajaran Islam kemudian menggantinya dengan yang lain) di panggung politik nasional, semakin membingungkan dan membuat kaum muslimin semakin jauh dari Islam. Kemudian muncul pula para ulama Muzayyif, orang-orang yang suka menyimpangkan pengertian yang benar dengan jalan takwil atau logika sehingga berubah dari makna sebenarnya.Contohnya adalah kesepakatan dunia untuk memperbolehkan wanita membuka aurat atau  memberikan kebebasan kepada semua orang untuk kafir murtad dari agama, sertakesepakatan untuk mengikuti aturan yang tidak sesuai dengan apa yang diturunkan Allah.
Di zaman reformasi ketika itu bermunculan tokoh-tokoh partai yang bermimpi untuk merangkul semua orang, all inclusive, yang bersifat lintas agama, lintas ras, lintas golongan, dan menganut prinsip non sekterian dan non diskrimatif, yang konon merupakan refleksi ke-Indonesiaan. Jika itu dilakukan, maka sebagai akibatnya terdapat dua prinsip penting dalam Islam yang harus dihapuskan.
1.
1. Al-Wala’ wal Bara’ (Siapa yang harus dicintai dan dibenci)
Di dalam kitabnya Al Wala’ wal Bara’ fil Islam, min Mafahim Aqidatis Salaf, Al-Qahthani memberikan gambaran praktis untuk mengaplikasikan aqidah Islam. Sekaligus hal ini merupakan pemahaman yang luas mengenai keagungan aqidah. Kalimat tauhid tidakakan terealisir di muka bumi ini, kecuali dengan melimpahkan al-wala’ kepada orang-orang yang memang layak memegangnya, dan memberikan al-bara’ kepada orang yang memang harus menerimanya.
2.
2. Jihad fi sabilillah.
Indonesia di bawah rezim Soeharto, telah dengan sengaja memanipulasi istilah jihad fi sabilillah menjadi term Komando Jihad, yang kemudian digolongkan sebagai kelompok anti pemerintah sehingga terdengar menakutkan di telinga mereka yang belum mengerti. Bahkan tujuan jihad yang sebenarnya menurut Muhammad Quthub dalam kitabnya,“Kaifa Naktubu at-Tarikhal Islam”, menegaskan bahwa tujuan sebenarnya dari jihad fi sabilillah yaitu untuk melenyapkan rintangan yang menghambat manusia dari mendengarkan yang haq.
Semakna dengan yang disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 14-15, Allah menegaskan tujuan jihad dalam Islam adalah sebagai berikut:


Untuk menyiksa orang-orang kafir dengan perantara orang-orang mukmin

Untuk menghinakan orang-orang kafir agar Allah menolong orang-orang mukmin menghadapi orang kafir

Melegakan hati orang-orang mukmin

Menghilangkan panas hati orang-orang mukmin ,serta

Menerima taubat orang-orang yang dikehendaki Allah.
Resiko terburuk bagi umat Islam karena meninggalkan jihad fi sabilillah, dijelaskan selanjutnya oleh Al-Qahthani sebagai berikut:

Ummat Islam mundur ke belakang karena meninggalkan jihad dan hanya mengekor di belakang kaum penyembah berhala

Mereka melarikan diri setelah tekun di dalam jihad, padahal jihad merupakan inti ajaran Islam

Mereka mengikuti umat lain setelah mereka cenderung kepada kehidupan masa bodoh, kemewahan, foya-foya dan canda ria

Pemikiran mereka menjadi semrawut, setelah sumber pikiran mereka yang bersih bercampur dengan filsafat jahiliyyah dan pola kehidupan manusia

Akhirnya umat Islam selalu patuh kepada orang-orang kafir, merasa tentram bergabung dengan mereka, lalu meminta kemaslahatan dunia dengan mengenyahkan agamanya, sehingga mereka pun rugi di dunia dan akherat.
Sedangkan menjadikan orang kafir sebagai bithanah (orang kepercayaan, tempat menyampaikan rahasia perjuangan), dan mengangkat mereka menjadi pemimpin dalam urusan kaum muslimin, akan membawa akibat yang lebih parah dan berbahaya bagi umat Islam. “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. . .mereka Itulah golongan syaitan.” (QS. Al-Mujadalah: 14,19)

Bahaya yang akan timbul jika peringatan tersebut diindahkan dapat disebutkan sebagai berikut:


Sikap mencintai orang kafir, mengagung-agungkan dan membantu mereka, justru untuk memerangi wali Allah dan menyingkirkan syari’at-Nya agar tidak dapat memberi ketentuan hokum bagi kehidupan dunia. Mereka menuduh syari’at Islam dengan tuduhan jumud, terbatas, tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan proses kemajuan peradaban.

Mengimpor hukum-hukum kafir, baik dari timur maupun barat, menerapkannya untuk mengganti syari’at Allah yang agung, lalu mencemooh setiap muslim yang menuntut diberlakukannya syari’at Islam dengan isltilah fanatik, reaksioner, radikal, dan ketinggalan zaman.

Menanamkan keragu-raguan terhadap sunnah rasul, meremehkan kemampuan para ulama yang telah konsisten dengan sunnahnya sehingga sunnah rasul sampai kepada kita.

Munculnya berbagai propaganda jahiliyyah modern yang dapat dianggap sebagai kemurtadan model baru dalam kehidupan kaum muslimin, seperti propaganda nasionalisme dan lain-lain.

Pengrusakan masyarakat Islam lewat sarana pendidikan dan racun invasi pemikiran melalui berbagai media massa.

10 Musuh Cita-Cita :
Mengenal musuh cita-cita dimaksudkan terutama untuk muhasabah diri, khususnya untuk aktivis jihadi, supaya jejak langkah mereka tetap terkendali di bawah panji-panji Islami. Lebih dari itu, agar para aktivis berupaya sungguh-sungguh untuk menghindari serta menjauhkan diri dari segala anasir perusak serta penghancur cita-cita. Sebab Allah telah memerintahkan hal itu melalui firman-Nya:

“Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan.” (QS. Al-An’am : 120)

1.

Kekuatan Tirani (Penguasa Taghut)
Apabila dalam suatu Negara, mayoritas rakyatnya telah bergelimang ma’siat dan durhaka, maka Allah akan menghukum mereka di dunia sebelum menghukum mereka di akhirat, dengan membiarkan rezim taghut atau penguasa tiran menguasai mereka. Jika rakyat menta’ati mereka, terpaksa maupun sukarela, itulah pertanda paling jelas kalau masyarakat itu sesungguhnya masyarakat yang fasiq.
“Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan Perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. karena Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (QS. Az-Zukhruf: 54)
Makna Thaghut
Kalimat thaghut diambil dari kata “Thagha” yang berarti melebihi atau melampaui batas. Di dalam al-Qur’an ada kira-kira delapan tempat yang menyebut tentang thaghut, terdapat pada ayat dan surat yang berbeda-beda. Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebutkan bahwa thaghut itu banyak macamnya, namun dapat diklasifikasikan ke dalam lima golongan, antara lain:
1.

Syetan yang menyeru kepada ibadah selain Allah. (QS. Yaasin: 60)
2.

Para penguasa dzalim yang menolak hukum Allah. (QS. An-Nisaa’: 60)
3.

Mereka yang berhukum kepada selain hukum Allah dan Rasul-Nya. (QS. An-Nisaa’: 44)
4.

Mereka yang mendakwa dirinya mengetahui perkara ghaib, selain Allah. (QS. Al-A’raf: 26-27), (QS. Al-An’am: 59)
5.

Segala sesuatu yang disembah selain Allah dan mereka rela dengan peribadatan tersebut. (QS. Al-Anbiya’: 9)

Maulana Muhammad Ali dalam tafsirnya “The Holy Qur’an” menjelaskan pengertian thaghut dengan lebih spesifik sehingga bisa dikatakan bahwa sosok thaghutbisa saja tampil dalam bentuk yang beraneka, secara fardhiyah maupun jam’iyah, individu maupun komunitas. Thaghut bisa menjelma dalam bentuk rezim atau penguasa diktator beserta seperangkat hukum dan system kekuasaannya yang menyimpang dari hukum Allah dan Rasul-Nya. Jadi segala sesuatu yang melampaui batas-batas ketetapan Allah, baik yang dilakukan oleh manusia atau syetan, termasuk kategori thaghut.
Berkata Syeikh Muhammad Quthub: “Thaghut itu bisa berupa seseorang, sekelompok orang, organisasi, peraturan, tradisi atau kekuatan yang manapun yang menjadi panutan dan sesembahan manusia, dimana manusia tidak dapat membebaskan diri dari perintah dan larangannya.”
Mengenai sosok thaghut dalam bentuk iblis atau syetan, Maulana Muhammad Ali menerangkan dengan sangat menarik dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 34: “Kedua makhluk ini, yaitu iblis dan syetan, pada hakekatnya adalah sama. Keduanya makhluk jahat. Iblis berarti yang sombong dan syetan berarti yang menggoda.”
Kemudian dijelaskan bahwa kata iblis berasal dari kata “balasa”, berarti putus asa.Jadi makhluk itu disebut iblis karena sombong dan putus asa dari rahmat Allah. Adapun syetan berasal dari kata “syathana”, artinya menjauh. Maka makhluk itu disebut syetan karena menggoda manusia supaya mengerjakan hal-hal yang menjauhkannya dari jalan Allah.
Imam Ghazali menasehatkan, “Peliharalah dirimu dari syetan dan jin. Dan waspadalah dari syetan manusia, karena syetan manusia atau manusia syetan itu memberi kesempatan istirahat bagi syetan jin dari keletihan menipu dan menyesatkan.”
Sifat dan karakter paling menonjol dari penguasa atau rezim thaghut, menurut al-Qur’an adalah penolakannya terhadap hukum Allah, dan permusuhannya yang terus-menerus terhadap orang-orang yang berjuang mengakkan hukum-Nya. Oleh karena itu, sepanjang sejarahnya, rezim thaghut senantiasa berdiri tegak diatas pelecehannya terhadap orang-orang beriman.
Mereka menggunakan teror pemikiran dan ideology untuk merubah pola pikir dancara pandang umat dengan tujuan menyesatkan manusia dari jalan Allah dan mematikan ruh Islam di hati pemeluknya. Untuk maksud ini, para penguasa tiran sering menggunakan tiga tahapan:
Pertamamengadakan penyusupan (infiltrasi) pemikiran ke dalam tubuh umat Islam, dengan jalan mengacaukan pikiran dan menumbuhkan keragu-raguan terhadap Islam dan sumber ajarannya.
Kedua, memecah loyalitas umat. Jika basis pemikiran serta perilaku seseorang telah bercampur dengan pola jahiliyah, maka ia akan hidup dengan kepribadian ganda.
Ketiga, pengalihan loyalitas. Ketika loyalitas umat sudah pecah, wala’ dan bara’ sudah tidak jelas, maka dengan mudah mereka digiring ke dalam blok ideology penguasa dan tunduk dibawah kekuasaan mereka.

2.

Hilangnya Harapan Dan Putus Asa Dari Kemenangan
Berputus asa merupakan perilaku syetan dan karakteristik orang kafir. Walau demikian, tidak sedikit aktifis perjuangan yang terperosok ke dalamnya, bisa disebabkan oleh tekanan pihak musuh atau menurunnya semangat iman sehingga perjuangan fi sabilillah terasa menjemukan. Kemudian bayang-bayang kelam tentang perjuangan mulai meyelimutinya sehingga bayang-bayang inilah yang seringkali memenuhi otak para muta’is (orang yang terpedaya oleh sikap putus asa) hingga tidak dapat merasakan manisnya iman serta kemuliaan perjuangan fi sabilillah.
Patut kita renungkan kembali perkataan khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz dalam suratnya untuk Mashur bin Ghalib, salah seorang perwira tentaranya. Beliau berkata, “Kita menghadapi musuh adalah sebab kemaksiatan mereka. Kalau saja bukan demikian tidak ada kekuatan bagi kita untuk mengalahkan mereka. Karena jumlah kita tidak seperti jumlah mereka, dan persiapan kita tidak seperti persiapan mereka. Kalau saja kita dan mereka sama dalam hal kemaksiatan tentulah mereka unggul dari pada kita dalam hal jumlah maupun kekuatanKalau saja kita tidak menghadapi mereka karena kebenaran, tidak mungkin kita dapat mengalahkan mereka dengan kekuatan. Maka aku peringatkan, janganlah kamu lebih takut dari bahaya serangan musuh-musuhmu dari pada bahaya dosa-dosamu. Sesungguhnya dosa manusia lebih aku takutkan dari pada tipu daya musuh.”
Suatu hari, pernah salah seorang anggota Ikhwanul Muslimin yang sudah merasa letih berjuang, bermaksud menulis surat dukungan semacam kebulatan tekad kepada presiden Gamal Abdul Naser dan mengajukan grasi (mohon ampun). Sebagai anggota ikhwan, iaberusaha memperoleh ijin atau sekadar dukungan moral dari Syeikh Hasan al-Hudaibi. Tapi Hasan al-Hudaibi yang ketika itu menjadi Mursyidul ‘Am Ikhwanul Musliminmenggantikan Imam Hasan al-Banna dan sama-sama berada dalam penjara, menyambutnya dengan kata-kata tegas dan perkasa:
“Tidak pernah saya memaksa orang untuk bersikap tegas dan berdiri sebarisan dengan saya. Akan tetapi perlu saya nyatakan pada kalian, bahwa sesungguhnya dakwah itu tidak akan pernah berkumandang walau sehari sekalipun jika ditangani oleh orang yang ragu-ragu dan tidak punya pendirian.”
Beliau mengucapkan kalimat demikian itu dalam usia yang lanjut, sekitar 80 tahun. Hasan Hudaibi merupakan rombongan  terakhir yang dibebaskan dari penjara di Masra’ah Thurrah setelah kejatuhan Gamal Abdul Naser. Tidak tampak sedikitpunpesimisme atau nada putus asa dalam ucapannya.
Putus asa tidak akan menyelesaikan apa-apa. Ia justru salah satu penyebab kekalahan.Maka sudah sepatutnya ketika keputus asaan mendera, ingatlah ayat Allah berikut,
 
“Ibrahim berkata: "tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat". (QS. Al-Hijr: 56)  
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
Jadi, setiap ujian yang datang hendaknya diselesaikan dan rintangan itu harus diatasi, bukan dikeluhkan. Sebab di antara bentuk kesabaran adalah kesiapan untuk berkorban dan menderita di jalan Allah, sedang shabrun jamil itu memiliki tanda-tanda antara lain:
1.

Teliti, tidak tergesa-gesa dalam bertindak. Dan bekerja dengan tekun sampai selesai waktunya.
2.

Tekad yang kuat, yang tidak dapat digoyahkan oleh hambatan atau rintangan apapun.
3.

Tidak bersikap pesimis dan putus asa. Dan terus berjuang kendatipun hasil yang diharapkan belum tercapai. Kegagalan berulang kali tidak akan mematahkan semangatnya.
4.

Pendirian yang sudah diyakini kebenarannya tidak akan goyah sekalipun menghadapi banyak rintangan, dan tetap berusaha hingga tujuannya tercapai atau maut menjemputnya lebih dulu.
5.

Selalu memelihara keseimbangan akal dan emosi. Akal sehatnya dapat mengendalikan emosi yang meluap-luap, sekalipun menghadapi persoalan yang membangkitkan emosi. Ia tetap menghadapinya dengan tenang dan pikiran sehat.

3.

Munculnya Keruwetan Hidup Dan Kesulitan Ekonomi
Rasa takut dan maksiat kepada Allah, merupakan kendala dan bagian dari jaring-jaring syaithon yang menyebabkan seseorang meninggalkan kewajiban jihad. Oleh karena itu, semua orang yang berjuang untuk membela cita-cita Islam, hendaknya memahami bahwa kekurangan makanan, kehilangan pekerjaan, atau bahkan tersingkir dari kampung halaman, bukanlah musibah yang karena itu boleh membuatnya jera danmundur dari perjuangan. Sebab, semua itu merupakan sebagian dari ujian keimanan.Firman Allah: 
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gem'bira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Kesulitan hidup yang menimpa orang-orang shalih pada zaman Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam keadaan mereka diceritakan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,“Saya telah melihat tujuh puluh dari orang-orang ahlu shuffah, tidak seorangpun dari mereka yang mempunyai selimut, hanya sarung atau kain panjang yang dililitkan dari leher ke bawah hingga betis, yang demikian itu karena khawatir terlihat auratnya.” (HR. Bukhari)
Manakala godaan “cinta dunia dan takut mati” menjerat cita-citamu, renungkanlah makna firman Allah dalam surat Hud ayat 15-16:
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”
Syeikh Sa’id Nursi memberikan nasehat yang sangat bagus: “Manusia hendaknya tidak marah jika ditimpa malapetaka, melainkan harus menyukainya. Hidup tidak kekal di masa lalu, akan menjadi hidup yang kekal dan penuh berkah. Adalah gila untuk membesar-besarkan berita yang lampau dan menyia-nyiakan kesabaran diri.
Siapa yang membalas dendam dengan menggunakan tangan yang patah, hanya akanmengalami kerusakan yang lebih parah pada tangannya itu. Demikian pula halnya, bila seseorang yang ditimpa musibah, lalu mengeluh dan menyesali nasibnya, orang itu hanya akan melipat gandakan kemalangannya saja.”
Jika keruwetan hidup dan kesulitan ekonomi datang mendesak, cukup suratAli-‘Imran ayat 200 sebagai sejata. “Bersabar dan tabah”, itulah dua perisai penghalang musuh.
 
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali-‘Imran: 200)

4.

Dorongan Sikap Individualisme dan Egoisme
Diantara musuh cita-cita yang paling sering mengganggu kehidupan berjama’ah adalah sifat mencintai dan mementingkan diri sendiri. Sifat ini dapat menjadi pintu gerbang bagi segala keburukan. Jika individualisme dan egoisme telah menguasai seseorang, maka sifat-sifat seperti merasa benar sendiri, dengki, tidak pernah merasa bersalah, mendzalimi hak orang lain dan berburuk sangka, akan menguasainya. Lalu diaakan mengklaim bahwa kebenaran itu adalah seperti yang dia karjakan, atau menurut ulama yang menjadi rujukan dia.
Dalam kehidupan berjama’ah, setiap anggota harakah hendaknya mampu menghindari pola pikiananiyah (individualistis dan egoistis). Dengan begitu banyaknya kendala perjuangan dan musuh cita-cita, pola berpikir seperti ini hanya akan membawa kegagalan-kegagalan dan ketidak harmonisan di kalangan ikhwan mujahid. Maka akibat yang sudah pasti jika pola berpikir ananiyah ini masih dipertahankan adalah permusuhan dan perpecahan, saling mengejek harakah yang tidak sehaluan dengannya.
Dalam kehidupan berjama’ah, sifat ananiyah ini harus dijauhkan dan diganti dengan sifat nahniyah (kebersamaan). Kemudian membiasakan diri sebagai kader ‘amali dan berkepribadian jama’i. Tidak merasa lebih penting dari yang lain, sebaliknya merasa tidak berarti apa-apa tanpa kebersamaan yang lainnya. Apabila perangai buruk ini menyerang, ingat-ingatlah sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wasallam:
خَيْرُ النَّاسِ اَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah dia yang lebih bermanfaat bagi sesamanya.”
       5.
 Tunduk Pada Rutinitas dan Menyerah Pada Kenyataan
Ketergantungan dan kekhawatiran pada sesuatu dapat memperbudak manusia dan membuatnya hina. Seseorang tunduk dan menyerahkan ketaatannya pada penguasa thaghut dikarenakan khawatir kehilangan posisi dan cemas terhadap kelangsungan hidupnya. Seorang pegawai takut menegur atasannya yang korupsi, khawatir digeser dari jabatannya. Seorang mubaligh atau ustadz takut menyampaikan amar ma’ruf nahi munkardi depan penguasa, karena khawatir ditangkap dan dipenjara. Banyak yang takut untuk berjuang di jalan Allah sekalipun demi agama Allah, jangan-jangan bisnis dan usaha dagangnya jadi bangkrut. Dan banyak orang malas beribadah kepada Allah karena sibuk bekerja menumpuk harta.
Rutinitas duniawi yang begitu banyak dan terus menerus menyita waktu dapat membuat seseorang lupa melakukan sesuatu yang justru dapat menyelamatkan hidupnya di akhirat. Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn.Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). dansampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Ash-Shaf: 10-13)
Allah menganugerahkan reward (Penghargaan) bagi orang-orang yang berjihad dan yang mengidh-har-kan al-haq, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia berupa diberi pertolongan untuk mengalahkan musuh-musuhnya dan dijanjikan kemenangan yang segera, sedang di akhirat diberikan amnesti (bebas dari siksa neraka) dan grasi (diampuni dosa-dosanya) kemudian dimasukkan ke dalam surga Adn.
Seorang aktivis jihad tidak boleh pasrah pada keadaan atau larut dalam situasi dan kondisi. Kebenaran tidak boleh disembunyikan lantaran kenyataan yang tidak menguntungkan. Ibarat sebuah kata mutiara, “Jadilah seperti ikan di laut. Ia hidup dan berkembang biak di dalamnya, tapi kehidupannya tidak terpengaruh oleh situasi dan lingkungan yang ada. Dagingnya tetap tawar dan tidak terasa asin.”


6.

Melemparkan Tanggung Jawab Perjuangan
Memperjuangkan cita-cita Islam dan membelanya dari rongrongan musuh Allah, adalah tanggung jawab bersama seluruh kaum muslimin. Setiap muslim wajib melakukannya menurut kemampuannya. Akan tetapi, memang sudah menjadi tabiat buruk manusia, suka melemparkan tanggung jawab pada orang lain. Apalagi jika tanggung jawab itu mengandung resiko. Bahkan tak jarang ada orang yang menyerahkan tanggung jawabnya pada orang lain, lalu ia membebaskan diri darinya.
Yang lebih harus diwaspadai yaitu orang-orang yang seakan-akan menasehati kita dengan memaparkan realita-realita yang ada, padahal tujuannya tidak lain adalah untuk menjatuhkan semangat kita dari perjuangan. Mereka datang seolah-olah mereka orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar, hendak membantu kita keluar dari kesulitan.
Waspadalah, jangan memandang ringan bisikan manusia jahat yang menampakkan diri dalam bentuk “simpatisan” ini. Sebab dia akan memasung cita-citamu untuk tidakpeduli dengan tanggung jawab perjuangan. Hunuslah pedang pamungkas dan kepadanya bacakan wahyu Ilahi:
  
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya Berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan kamu. bagi Kami amal-amal Kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara Kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)".” (QS. Asy-Syura: 15)

7.

Konspirasi Musuh Kafir dan Munafiq
Orang-orang kafir takkan pernah berhenti membuat makar untuk menjauhkan ummat manusia dari jalan Allah. Hal ini telah menjadi aksioma Qur’ani.
Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (kaum musyrikin itu dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.” (QS. Al-Baqarah: 217)
Orang-orang Yahudi dan Nasrani sangat pintar dalam mengemas kekafiran di balik wajah yang seakan tanpa dosa. Mereka menunjukkan kepeduliannya terhadap para dhu’afa, melalui aktivitas-aktivitas sosial baik atas nama agama, demokrasi, atau kemanusiaan. Contohnya kegiatan Lions Club, Rotary Club atau Free Mansory yang sedang mewabah di kalangan menengah ke atas. Padahal organisasi itu membawa misi Yahudi.
Fenomena permusuhan antara Islam dan orang kafir telah dijelaskan dalam al-Qur’an:

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.“ (QS. Al-Maidah: 82)
Fakta bahwa orang-orang kafir selalu memusuhi Islam dikarenakan dua golongan ini tidak akan mungkin bisa bersatu, satu sama lain saling bertolak belakang. Sifat orang-orang kafir telah disebutkan dalam al-Qur’an:

“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” (QS. Al-Maidah: 42) Sedangkan orang Islam menyukai kebalikannya.
Begitu juga dengan orang munafik, mereka menjadikan Islam hanya sebagai pelengkap saja. Islam hanya sebagai topeng dalam nama dan sebagian tata cara hidupnya. Akan tetapi jiwanya kufur karena sering diasah dan diasuh oleh thaghut, sehingga sikap hidup dan cara berpikirnya persis menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani.

8.

Santai dan Nyaman Dalam Kehidupan Mapan
Induk dari segala kesulitan dan sumber dari segala kejahatan hati adalah keinginan untuk bersantai-santai dalam hidup yang dipersonifikasikan dengan sikap: Tidur nyenyak, makan enak, perut kenyang.
Kesenangan dunia boleh dinikmati siapa saja, sejauh ada kesempatan untuk menggapainya. Tetapi kesenangan di akhirat hanya untuk orang yang bertakwa. Siapakah orang yang bertakwa dan apa tanda-tandanya? Mereka itu adalah orang yang mengerti kelemahan dan posisinya sebagai hamba. Lalu ia senantiasa memohon ampun serta perlindungan dari Allah. Seperti dalam firman Allah:
  
“(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah beriman, Maka ampunilah segala dosa Kami dan peliharalah Kami dari siksa neraka," (Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali-‘Imran: 16-17)
Pribadi muttaqin, sebagaimana gambaran ayat di atas, adalah mereka yang memiliki seperangkat sifat yang dapat membentengi dirinya dari ketergelinciran antara lain:
1.

Tabah, sehingga ia dapat mengabdikan hidup dan kehidupannya terhadap upaya yang pasti dan jelas, yaitu kenyamanan hidup di akhirat kelak.
2.

Tangguh dan memiliki keteguhan jiwa. Dia tidak mudah tergoda oleh aneka ragam godaan dan rayuan yang menyesatkan. Tidak mudah goyah menghadapi berbagai rintangan dan bencana yang berusaha menggeser langkah jihadnya.
3.

Percaya diri, tidak mudah tertarik oleh pertimbangan-pertimbangan yang mempesona tetapi berakibat menyesatkan. Dan dia juga orang yang dermawan dan senantiasa memohon ampun, khawatir jangan-jangan amal ibadah yang ialakukan tidak diridhai Allah.
Oleh karena itu, manakala datang menusia menghampirimu lalu mengajak agar tidak terlampau serius dalam berjuang. Ketahuilah, mentalitas manusia semacam ini adalah mentalitas kura-kura. Dia memunculkan kepala pada saat aman, dan bersembunyi manakal situasi penuh ancaman. Manusia kura-kura takkan pernah mau terlibat dalam gerakan jihad, karena dia tidak pernah menghendaki hidupnya terancam bahaya. Ia lebih menyukai suasana santai, asyik serta enak-enakan dalam kehidupan yang serba cukup.

9.

Terlampau Lama Beristirahat
Dakwah dan jihad adalah perjuangan terus-menerus untuk menyampaikan kita pada tujuan. Lamanya waktu beristirahat dan alpa dari perjuangan, merupakan rintangan yang memerlukan kewaspadaan. Kealpaan dari jihad atau bersikap tawakuf (non aktif) dari perjuangan, setelah lama waktu berlalu dapat membuat hati kita menjadi keras. Lalu membuat semangat dan kemauan berangsur-angsur redup dan tidak berminat melanjutkan kerja dakwah.
Tawakuf dari perjuangan, kadang-kadang disebabkan berpisah lama dengan kawan seperjuangan. Pada akhirnya, jika keadaan ini dibiarkan terus berlanjut tanpa siraman iman dan terputusnya komunikasi dengan ikhwannya, bisa membuat api jihad berangsur padam dalam dirinya.
Sebutan mantan pejuang Islam atau veteran mujahid, itu sungguh tak sedap didengar.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 IRMAS SMA NEGERI 11 BEKASI.